Peran Guru
Dalam Experience and Education (1938), Dewey mengatakan bahwa guru harus memiliki rasa percaya diri lebih ketika merencanakan pengalaman belajar anak-anak. Dia mengatakan bahwa guru terlalu takut instruksi mereka akan melanggar hak kebebasan dan kreativitas siswa. Dewey berpikir bahwa anak-anak memerlukan bantuan guru untuk membuat dunianya masuk akal.
Seperti apakah bantuan ini? Menurut Dewey, penting bagi guru untuk mengamati anak dan menentukan dari pengamatan ini jenis pengalaman apa yang anak merasa tertarik dan siap lakukan.
Dia berpikir bahwa pendidik mempunyai tanggung jawab yang serius untuk berinvestasi dalam perencanaan dan pengorganisasian kegiatan belajar anak-anak. Dengan kata lain, ia percaya bahwa hal itu adalah tugas guru untuk menentukan kurikulum berdasarkan pengetahuan anak-anak dan kemampuan mereka. Dia merasa bahwa saran dan bimbingan yang datang dari pemahaman guru, tidak mungkin kurang berguna untuk anak-anak dibandingkan dengan ide-ide mereka yang datang secara kebetulan. Semua guru memiliki lebih banyak pengalaman hidup dan pengetahuan yang lebih umum dibandingkan anak-anak.
Ketika pendidikan progresif dikritik karena memberi anak-anak terlalu banyak kebebasan tanpa bimbingan yang tepat, Dewey setuju. dengan argumen “Ini adalah dasar yang sah untuk mengeritik ketika gerakan pendidikan progresif yang sedang berjalan gagal dalam melihat bahwa masalah pemilihan dan pengorganisasian materi untuk belajar adalah hal yang fundamental.” (Dewey, 1938, 78). Dewey mengatakan bahwa anak-anak perlu guru untuk memutuskan apa yang aman dan yang secara perkembangan dan individual sesuai untuk mereka.
Dewey prihatin bahwa banyak guru pada waktu itu mengaku sebagai bagian dari pendidikan progresif hanya karena mereka sudah meninggalkan pendekatan yang lebih tradisional. Dia menyatakan adanya bahaya berpindah dari satu arah pengajaran tanpa memahami dengan jelas arah baru yang hendak diikuti. Dia juga berpikir ini adalah pola yang sangat umum di kalangan pendidik. Dia percaya ada guru yang tertarik pada pendidikan progresif karena mereka pikir akan lebih mudah. Dia tahu bahwa beberapa guru menggunakan ide-ide baru sebagai pembenaran untuk melakukan improvisasi atau membiarkan anak-anak untuk memilih pengalaman mereka, tanpa hambatan dalam perencanaan atau pengarahan. Dalam hal ini seperti pada pelesetan CBSA pada implementasi KBK yang salah (sunda: cul budak sina anteng atau catat buku sampai habis) di Indonesia. Seolah terbebas dari kekakuan fungsi guru sebagai instruktur, maka sebagai gantinya, sebagai fasilitator beberapa guru memanfaatkan pola ajar KBK sebagai ajang membebaskan siswa untuk belajar. Siswa secara mandiri memilih aneka sumber belajar (sumber materi dan media) sesuai keinginannya, sehingga tidak menuntut usaha terlalu banyak dari guru.
Dewey percaya bahwa jalan untuk pendidikan berkualitas adalah dengan mengetahui anak-anak dengan baik, membangun pengalaman belajar dari masa lalu mereka, juga terorganisasi dan terencanakan dengan baik. Dia juga percaya bahwa tuntutan metode baru ini membuat pengamatan, dokumentasi, dan pencatatan peristiwa kelas jauh lebih penting daripada ketika metode tradisional digunakan.
Ia yakin bahwa agar dapat memberikan pengalaman pendidikan bagi anak-anak, guru harus:
memiliki dasar pengetahuan umum serta pengetahuan khusus yang kuat tentang anak-anak
bersedia memahami dunia anak-anak atas dasar pengetahuan dan pengalaman mereka yang lebih luas
berinvestasi dalam pengamatan, perencanaan, organisasi, dan dokumentasi
Lantas, bagaimana teori Dewey tentang peran guru dalam panduan pendidikan guru di program anak usia dini?
Amati anak-anak dengan cermat dan rencanakan kurikulum sesuai kepentingan dan pengalaman mereka.
Jangan takut untuk menggunakan pengetahuan Anda tentang anak-anak dan kehidupan untuk memahami dunia anak-anak.
Perencanaan Kurikulum yang Bertujuan
Ketika mengunjungi sekelompok anak berusia empat tahun baru-baru ini, Carol Gahaart Mooney, kolega kami, melihat seorang anak yang menghabiskan sebagian besar waktu luangnya merangkak di sekitar ruangan. Dia akan berkata “meong” kepada siapapun yang dia lewati. Dia tidak bermain dengan anak lain. Dia tidak berinteraksi dengan gurunya. Dia hanya berkeliaran di sekitarnya, dan mengeong.
Carol bertanya kepada guru tentang anak ini. “Dia suka berpikir dia kucing,” kata guru. “Kenapa begitu?” lanjut Carol.
“Saya tidak yakin,” ujar guru.
“Apakah dia punya kucing di rumah?” tanya Carol lagi. “Saya tidak yakin,” tambah guru.
“Apakah Anda pernah bertanya-tanya apa yang membuat dia melakukan itu?” desak Carol.
“Dia benar-benar menikmati itu … dan itu sudah cukup bagi saya,” tegas guru, tersenyum penuh percaya diri, dan menambahkan, “Belajar harus menyenangkan!”
Ini bukanlah apa yang dimaksud Dewey dengan “keyakinan guru”! Dia mengatakan bahwa keyakinan harus muncul dari dasar pengetahuan guru yang berlaku dalam situasi kelas. Pengetahuan tersebut termasuk memahami anak (Apakah dia punya kucing?); mengindividualkan kurikulum (Apakah dia perlu memahami kematian hewan peliharaannya?); memahami hakikat sosial pembelajaran (Bagaimana guru atau rekan sebaya membantu atau berteman dengannya?), dan persiapan untuk kehidupan (Apa gunanya perilaku ini? Bagaimana dan apa yang dia pelajari dari hal itu yang dapat digunakan sebagai bekal menjalani kehidupan?).
Dewey sangat percaya bahwa ketika anak-anak merasa terlibat, maka belajar itu akan menyenangkan dan menarik dari dan untuk dirinya sendiri. Namun, dalam contoh ini, guru merasa puas untuk menerima “menyenangkan” sebagai pembenaran terhadap aktivitas tanpa tujuan, tanpa berusaha memahami makna pengalaman itu bagi anak. Dia tidak membangun rasa asyik anak dengan berusaha menjadi kucing untuk memperluas pengetahuannya akan dunia, untuk meningkatkan keahliannya, atau untuk mendukung perkembangannya. Ia tidak menghubungkan minat anak dengan keluasan pengetahuan yang dimilikinya, atau dengan pembelajaran yang telah berlangsung sebelumnya. Dengan menggunakan kriteria Dewey, hal ini disebut sebagai pengalaman mendidik yang salah.
Berikut adalah contoh yang sangat berbeda. Di ruang kelas tempat beberapa anak berumur lima tahun sedang beraktivitas, kami mengamati beberapa anak bermain dengan lem. Pada pandangan pertama tampaknya kegiatan ini tanpa tujuan dan buang-buang waktu. Anak-anak mengambil gulungan benang kosong dari bagian seni. Menempatkan satu jari di bawah dasar lubang, mereka mengisi gulungan dengan lem. Mengubahnya dengan cepat ke samping, lalu meniup lem keluar dari lubang. “Wow, kau melakukannya, seperti kemarin!” seorang anak berteriak gembira karena lem telah menyebar di seluruh meja.
Saking terpesona, kami ingin tahu seperti apa kurikulum sekolahnya ketika guru dengan cepat ikut terlibat. “Kalian harus menunjukkan kepada pengunjung kita apa yang Kalian lakukan dengan telur kemarin,” katanya. Dia menjelaskan bahwa anak-anak telah melihat telur hias dari seluruh dunia. Guru menunjukkan kepada mereka bagaimana para seniman menyiapkan kulit telur dengan meniup telur mentah didalamnya. Sekarang perilaku anak-anak tadi masuk akal bagiku. Lalu guru berkata, “Kalian akan benar-benar memahami proses tersebut dengan telur. Kalian telah melakukan hal yang sama dengan gulungan benang dan lem. Kita tidak bisa menggunakan semua lem, jadi saya ingin Kalian meletakkannya sekarang. Kemudian kita bisa memeriksa telur yang kemarin dan melihat apakah telur itu siap dihias. ”
Guru ini mengetahui murid-muridnya dengan baik. Dia tahu persis apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka melakukannya. Dia menegaskan hubungan antara telur dan lem dan kemudian anak-anak diarahkan ke proyek semula. Dia tidak takut untuk berkata, “Aku melihat apa yang kau lakukan. Masuk akal, tapi jangan melakukannya dengan lem. Mari kita kembali ke telur kita.” Bimbingannya meyakinkan anak-anak bahwa percobaan itu berubah dari sekadar pengalaman biasa menjadi pengalaman belajar. Inilah kepercayaan diri seorang guru yang Dewey maksudkan. Hal ini didasarkan pada pengetahuan baik tentang anak-anak maupun proses belajar.
Membantu Anak-anak Memahami Dunia
Dewey juga mengatakan bahwa di luar pengetahuan mereka tentang anak-anak, guru harus bersedia untuk menyerap pengetahuan umum untuk membantu anak-anak memahami lingkungan dan pengalaman mereka. Ini merupakan tantangan bagi banyak guru-guru anak usia dini, yang sering berkecil hati dalam berbagi pengetahuan dengan anak-anak mereka.
Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu kami mengamati calon suami saya yang (dulu, saat masih gadis) sedang mengajar pendidikan agama Islam kepada anak-anak kelas 5 di SD 9 Mutiara. Saat itu ia mengajarkan kosep Allah sebagai Maha Pencipta. Anak-anak belajar melalui kegiatan melukis, bernyanyi lagu “Pelangi-pelangi” serta inquiry. Yang mengherankan, saat guru menghampiri siswa yang telah selesai melukis bunga, ia bertanya kepada siswa apakah hasil lukisannya lebih bagus dari tanaman asli. Sontak saya kaget, sebab degan bertanya seperti itu, saya rasa guru telah mengerdilkan siswa dan bisa jadi siswa merasa tidak dihargai hasil karyanya. Meski merasa gereget, saya coba bertahan mengamati sampai ujung pembelajaran. Ternyata setelah siswa yakin bahwa bunga asli jauh lebih indah dari lukisannya, maka guru melajutkan dengan pertanyaan lain. “Siapa yang membuat bunga ini?”. Spontan siswa menjawab “Allah!”, maka melalui percakapan ini siswa secara konkret dapat memahami Allah sebagai sebaik-baiknya pencipta.
Tidak cukup sampai disana, setelah proses mengamati selesai, saya berdiskusi dengan sang guru. Saya desak dengan contoh lukisan lain, “Bagaimana kalau lukisannya mobil, kan mobil dibuat manusia?!”. Dengan ringan guru menjawab bahwa ia hanya perlu menambah penjelasan bahwa bahan baku mobil tentu diciptakan oleh Allah, begitu pula ide si pembuat mobil itu sendiri adalah ciptaan Allah. Wow, tentu siswa juga menjadi semakin yakin dengan konep Allah sebagai Maha Pencipta tanpa melalui proses doktrinasi searah.
Saya terus menanyakan jenis benda lain yang mungkin dilukis siswa, seperti kuda berkaki dua, angsa berbulu mata lentik, pesawat antariksa dan aneka objek lukis siswa unik lainnya. Semua selalu diikuti pengarahan guru yang merujuk bahwa mutlak Allah adalah sebaik-baiknya Pencipta. Subhanallah, menurutnya, kuda berkaki dua lukisan siswa menandakan bahwa kuda sempurna ciptaan Allah berkai empat, angsa yang asli tidak berbulu mata lentik namun lebat dan indah, pesawat antariksa dapat terbang melalui ide para peneliti yang diilhamkan dari proses ilmiah pada alam yang diciptakan oleh Allah.
Luar biasa, ternyata proses melukis saat itu bukan sekadar kegiatan kreasi seni anak SD, melainkan sebuah proses ilmiah memahami sebuah konsep ketuhanan yang menarik sekaligus menyenangkan. Cerita guru tersebut adalah contoh yang baik dari apa yang Dewey maksud dengan guru menggunakan pengetahuan mereka yang lebih luas untuk membantu anak-anak memahami dunia mereka. Anak-anak di kelas memiliki kesempatan yang luas untuk tidak terkekang karena ekspresi yang kreatif, tetapi dalam studi yang ia gambarkan, anak-anak menggunakan seni sebagai alat penyelidikan ilmiah. Dengan membantu anak-anak melihat lukisan dan alam sekitar lebih dekat, mereka sedang belajar dan memberi mereka alat untuk membuat representasi akurat dari bukti Allah sebagai sebaik-baiknya Pencipta. Guru ini tengah membangun pengetahuan anak-anak. Ia membantunya belajar lebih banyak tentang konsep ketuhanan dan alam semesta beserta isinya. Mereka juga memberi mereka keahlian yang bisa digunakan untuk penyelidikan perkembangan masa depan. Hal ini, menurut Dewey, adalah bagaimana guru seharusnya menggunakan pengetahuan mereka untuk memperluas pengetahuan anak-anak.
Edukasi versus Mis-Edukasi
Dewey menghindari diskusi baik/maupun (either/or) yang begitu umum di dunia filsafat pendidikan. Dewey menghindari diskursus filsafat pendidikan. Dia percaya bahwa masalah yang sebenarnya bukan masalah lama atau barunya pendekatan terhadap pendidikan, melainkan kondisi pembelajaran yang bagaimana yang membuat pengalaman belajar layak disebut sebagai “pendidikan.” Dewey menegaskan bahwa pendidikan dan pengalaman adalah dua hal terkait yang tidak sama, dan bahwa beberapa pengalaman sama sekali tidak bersifat mendidik. Ia menyebut ini sebagai pengalaman pendidikan yang salah. Dewey percaya bahwa suatu kegiatan bukan merupakan kegiatan belajar jika tidak memiliki tujuan dan organisasi. Dia mengeritik lingkungan pengajaran tradisional yang lebih formal di abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh yang mendorong siswa mempelajari informasi dengan cara menghafal dan menghabiskan waktu membaca fakta-fakta di luar konteks. Dia juga mengeritik situasi ketika para guru mengatur lingkungan belajar dan kemudian memberi kelonggaran agar anak-anak mengeksplorasi tanpa menawarkan bimbingan atau saran, atau secara acak membentuk pengalaman tanpa menyediakan tema, kontinuitas, atau tujuan apapun.
Dewey berpikir bahwa alih-alih berkata, “Anak-anak akan menikmati ini,” guru perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ketika mereka merencanakan kegiatan-kegiatan untuk anak-anak:
Bagaimana hal ini bisa mengembangkan pengetahuan yang sudah ada pada anak-anak?
Bagaimana kegiatan ini membantu pertumbuhan anak?
Keterampilan apa yang sedang dikembangkan?
Bagaimana kegiatan ini dapat membantu anak-anak tahu lebih banyak tentang dunia mereka?
Bagaimana kegiatan ini dapat mempersiapkan anak-anak hidup secara penuh?
Dari perspektif Dewey, suatu pengalaman hanya dapat disebut “pendidikan” jika memenuhi kriteria ini:
Didasarkan pada minat dan pertumbuhan anak-anak di luar pengetahuan dan pengalaman yang ada.
Mendukung perkembangan anak.
Membantu anak mengembangkan keterampilan baru.
Menambah pemahaman anak terhadap dunianya.
Menyiapkan anak untuk hidup lebih penuh.
Bagaimana guru pendidikan anak usia dini dapat dipandu oleh kriteria pengalaman pendidikan Dewey?
Tidak menjadikan ungkapan “ini menyenangkan” sebagai pembenaran atas kurikulum, tetapi bertanya bagaimana suatu kegiatan akan mendukung perkembangan dan pembelajaran anak-anak.
Berinvestasi dalam organisasi dan dokumentasi karya anak-anak.
apa kata mereka